“Damai, Bukan Bukti Nir Ketimpangan”

Resensi Buku:

Metamorfosis Cinta (Penulis: Wahyu Nur Hidayat)

Oleh: Aly Mashar

 

Keharmonisan dan ketentraman yang menghiasi suatu sistem sosial bukan berarti tanda tidak adanya ketimpangan didalamya. Justru, dari kondisi seperti itu sering terjadi ketimpangan yang tidak disadari baik oleh pelaku maupun korban ketimpangan, karena sistem tersebut sudah dianggap sebagai kodrat yang bersifat alamiah. Singkatnya, sistem ini sering menjadi sarana untuk melanggengkan ketimpangan dan lebih cenderung mempertahankan status-quo. Misalkan, seorang Gus –anak laki-laki dari seorang Kyai- secara taken of granted dianggap sebagai seorang yang alim sebagimana ayahnya meski realitanya ia bodoh dan tidak patut untuk menyandangnya. Begitupun sebaliknya, semisal terdapat anak seorang pelacur, ia pandai dalam ilmu agama sekaligus tekun mengamalkannya, namun ia tetap dianggap tidak pantas untuk menyandang label Kyai karena melihat nasab keturunannya yang jelek. Mereka lebih percaya kepada Keramat Gandul – senada dengan pepatah “Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”- daripada realita yang ada. Sistem sosial seperti ini jelas akan berakibat pada penindasan terstruktur yang Dholim.

Misalkan lagi di dunia sekolah. Seorang guru dianggap sebagai tokoh yang harus digugu dan ditiru oleh para murid. Semua keputusannya-pun pastilah baik dan berguna bagi murid. Jika murid membangkang keputusan guru, meski dengan alasan yang rasional dan bener-bener realita, ia akan dianggap murid yang ‘Nakal’. Dengan dasar logika ini, maka guru seakan mendapat legitimasi dan berhak untuk mendamprat atau bahkan memukul murid-muridnya yang dianggap ‘nakal’. Dan ironisnya kesemuanya itu dianggap lumrah dan wajar. Ketimpangan sistem sosial seperti inilah yang coba dikritik Wahyu Nur Hidayat melalui karya Novel-nya Metamorfosis Cinta.

Selain kritik diatas, novel ini juga menawarkan serta menyoal beberapa hal menarik lainnya, diantaranya ialah kritik atas kapitalisme  dan anarkisme dalam dunia pendidikan, kritik atas oknum birokrasi, menawarkan bagaimana cara orang tua mendidik anak, bagaimana membentuk model usaha non-kapitalisme, percintaan berlandaskan keimanan, persahabatan sejati, pemahaman keagamaan yang moderat, nilai keberanian, ketabahan, dan perjuangan (amar ma’ruf nahi munkar) tanpa kenal usia serta bertanggungjawab atas setiap resiko yang akan diterima.

Novel ini bagus untuk dibaca oleh semua kalangan, terutama para tokoh masyarakat, birokrasi pemerintah, praktisi pendidikan, orang tua, dan mahasiswa pergerakan. Sebab novel ini akan membuka lebar-lebar mata kita terhadap ketimpangan-ketimpangan sosial yang banyak terjadi dalam realitas sosial yang terkadang luput dari pengamatan kita.

Meski banyak hal positif dari novel ini, menurut saya ada beberapa hal yang harus disadari oleh para pembaca budiman sebelumnya. Novel ini hanya menyoroti fenomena-fenomena sosial yang bersifat parsial dan lebih cenderung imajinatif, jadi peristiwa-peristiwa yang coba diangkat itu tidak bisa di-generalisasi-kan. Selain itu, peristiwa pada bagian terakhir novel tepatnya peristiwa Roji yang gencar memperjuangkan cita-cita ideal sosialnya, harus dipahami secara mendalam dan dengan pikiran yang terbuka. Sebab, jika tidak, seakan-akan Novel ini menganjurkan untuk melakukan tindak kekerasan dalam memperjuangkan cita-cita ideal sosial dan mengesankan peng-amin-an atas pemahaman keagamaan yang keras-mengerikan. Padahal pada peristiwa itu, menurut saya, titik tekan pesannya ialah untuk memberi pelajaran kita bahwa kita harus berani menerima semua resiko atas perbuatan kita, bukannya membela diri supaya luput dari konsekuensi atasnya. Hal ini mungkin juga ditujukan penulis untuk mengkritik para pelaku teroris yang tertangkap di negeri kita akhir-akhir ini. Mereka berani berbuat –teror bom-, namun mereka berusaha mengelak dengan mengajukan uji banding. Hal inilah yang sebenarnya dilarang oleh agama, terutama tasawuf.

Published in: on Agustus 3, 2011 at 6:30 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

The URI to TrackBack this entry is: https://alymasyhar.wordpress.com/2011/08/03/damai-bukan-bukti-nir-ketimpangan/trackback/

RSS feed for comments on this post.

Tinggalkan komentar